RSS

Dari Pentas “Kereta Kencana” Sutradara Abu Bakar: Pada Mulanya dan Akhirnya adalah ‘Buku’

04 Feb
Pentas Kereta Kencana

Salah satu adegan dalm Pentas Kereta Kencana sutradara Abu Bakar

Lakon “Kereta Kencana” yang merupakan karya WS Rendra atas adaptasinya terhadap “The Chairs” karya Eugene Ionesco (1909-1994), sudah dipentaskan beberapa kali di Indonesia. Pementasan yang disutradarai oleh Abu Bakar adalah yang kesekian kalinya. Tiap-tiap sutradara dan aktor menyajikan kreativitasnya sendiri dalam menjinakkan atau memberikan makna pada lakon ‘absurd’ ini.

Putu Wijaya memainkan lakon ini beberapa kali, termasuk yang terakhir adalah di Gedung Kesenian Jakarta September 2010, untuk mengenang setahun wafatnya Rendra. Dia membuka pentas ini dengan adegan si Kakek (tokoh utama, dimainkan Putu sendiri) terkulai di kursi, sedangkan penutupnya diisi dengan pembacaan puisi Goenawan Mohamad berjudul Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi (1966). Penekanannya seolah pada kontemplasi akan misteri kematian yang tidak ditolak tetapi tidak diketahui kapan waktunya.

Sutradara Abu Bakar yang mementaskan lakon ini di halaman rumahnya di Jl. Sakura, Denpasar, membuka pentas ini dengan adegan si Kakek (Anwar Djuliadi) duduk di kursi membaca buku (bukan terkulai), sedangkan menutup lakon ini dengan adegan si Kakek dan Nenek (Heny Shanti) beriringan berangkat menuju sinar di ketinggian. Langkahnya gontai, barang bawaannya tercecer dari kopernya, termasuk beberapa buku. Kematian manusia meninggalkan buku.

Saya tertarik memperhatikan ‘buku’ dalam adegan pembuka dan penutup kisah ini. Jika dikaitkan dengan subtema lakon ini, ‘buku’ bisa tampil sebagai salah satu simbol penting dalam pentas yang disutradarai Abu Bakar itu.

“Kereta Kencana” adalah kisah igauan dua orang tua, kakek-nenek (suami istri), yang dilukiskan sudah berusia dua abad (usia yang absurd!). Hari-hari mereka adalah saat-saat mananti kematian, yang disimbolkan dengan imajinasi kehadiran ‘Kereta Kencana’ yang akan menjemputnya, membawanya ke alam sana.

Dalam igauannya itu, berbagai hal dilakukan Kakek dan Nenek, termasuk bermain layang-layang seperti kanak-kanak. Kata-kata dan dialognya, jika disimak dengan logika normal, tentu saja tampak seperti tanpa arah, tidak berujung-pangkal, fragmentarasi. Namanya saja juga orang mengigau, tentu saja apa yang disampaikan jauh dari refleksi kesadaran normal.

Tapi, jika kita mengikuti teori psikologi Freud, maka dalam ketaksadaran itulah terpantul sejumlah kebenaran atau alam pikiran penuh makna. Mimpi atau ‘salah ucap’ (slip of the tounge) menandai adanya kebenaran yang ditindas. Yang direpresi itu meledak ke luar di luar kontrol. Artinya, yang penting adalah ungkapan yang terdengar, bukan siapa yang menyampaikan.

Dialog Kakek Nenek dalam “Kereta Kencana” adalah letupan-letupan dari keinginan yang ditekan, kesadaran yang dikekang. Dalam beberapa dialognya, Kakek dan Nenek memberikan penekanan pada betapa pentingnya ‘kebudayaan’. Untuk apa kebudayaan, katanya, kalau manusia tidak bisa menghibur dirinya? Dalam kesempatan lain, lakon ini menekankan ‘badut adalah raja kebudayaan’. Dikaitkan dengan kenyataan, banyak hal lucu yang terjadi di sekitar kita, kelihatan tragis, tetapi sebetulnya tidak lebih dari sekadar lelucon. Dalam dunia eksekutif, legislatif, yudikatif dan juga dalam dunia pers, terdapat begitu banyak ‘badut’.

Hidup adalah buku, tabungan pengetahuan yang terus dibaca dan terus ditulis. Kalau ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘harimau mati meninggalkan belang’, ‘gajah mati meninggalkan gading’, maka manusia mati meninggalkan ‘buku’. Adegan pembuka dan penutup ‘Kereta Kencana’ versi sutradara Abu Bakar, mengingatkan kita bahwa betapa pentingnya buku sebagai lambang kebudayaan atau peradaban manusia. Jadi kalau sutradara Putu Wijaya menggarisbawahi sunyinya kematian dalam “Kereta Kencana”, Abu Bakar menekankan pada jejak manusia yang mati. Jejak itu adalah buku.

Penekanan pada buku sebagai jejak manusia yang ditonjolkan Abu Bakar mengingatkan kita pada kata-kata Derrida bahwa tidak ada apa pun (sejarah) di luar teks. Sejarah tidak pernah hadir dalam kesadarna manusia kalau tidak ditulis atau diproduksi ke dalam teks.

Pentas “Kereta Kencana” di rumah Abu Bakar adalah juga sebuah teks yang menjelaskan sepotong sejarah teater kita dewasa ini. Foto-foto yang dijepret atau ulusan yang dibuat atas pementasan itu adalah ‘barang bukti’ alias ‘teks’ dari sejarah teater yang ditorehkan Abu Bakar bersama aktor-aktornya.

Nyoman Darma Putra (Dosen Faksas Unud, kritikus seni)

Rubrik Seni, Bali Tribun, 4 Februari 2012

 
1 Comment

Posted by on February 4, 2012 in Artikel

 

One response to “Dari Pentas “Kereta Kencana” Sutradara Abu Bakar: Pada Mulanya dan Akhirnya adalah ‘Buku’

  1. salimnabhan

    February 4, 2012 at 4:36 am

    marvelous critique !!!

     

Leave a reply to salimnabhan Cancel reply